Sabtu, 02 Januari 2010

Gangguan Pendengaran Anak

BERBEDA dengan keadaan cacat yang lain, cacat dengar pada anak tidak terlihat jelas, terutama bagi masyarakat awam medis. Cacat dengar pada bayi dan anak menyebabkan gangguan berbahasa, baik untuk menerima maupun menyampaikan pesan yang selanjutnya mengakibatkan gangguan sosialisasi dan gangguan emosional.

Tidak jarang terjadi kekeliruan anggapan, anak yang terganggu pendengarannya mulanya diduga menderita gangguan mental atau gangguan tingkah laku.

Telinga terdiri atas telinga bagian luar (daun telinga dan liang telinga), telinga tengah (gendang telinga dan ruang telinga tengah), dan telinga bagian dalam (kohlea, organ keseimbangan dan saraf pendengaran).

Gelombang bunyi atau suara berjalan melalui udara, menggetarkan gendang telinga, mengakibatkan bergetarnya cairan endolimf kohlea di telinga dalam yang selanjutnya menggerakkan sel-sel rambut saraf pendengaran. Dalam kohlea inilah terjadi perubahan getaran mekanik menjadi getaran listrik.

Gelombang energi listrik ini kemudian diteruskan melalui saraf pendengaran ke pusat pendengaran di otak.
Gangguan di telinga tengah dan luar akan menimbulkan tuli hantaran (konduksi), gangguan di telinga dalam menimbulkan tuli saraf atau tuli sensorineural. Yang terakhir inilah yang umumnya terjadi pada anak yang tunarungu sejak lahir.

Di berbagai negara dilaporkan angka kejadian gangguan pendengaran yang bervariasi. Diperkirakan, insiden tuli saraf berat pada bayi baru lahir berkisar antara satu sampai dua per 1000 kelahiran. Menurut WHO ketulian derajat ringan sampai berat di masyarakat mencapai 10%.

Sebagiannya dapat dicegah dan disembuhkan, terutama ketulian yang disebabkan peradangan telinga tengah.
Berdasarkan lokalisasi kelainan di telinga, dikenal berbagai jenis gangguan pendengaran.1).

Ketulian konduktif (hantaran) jika kelainan terjadi di telinga luar maupun tengah. Biasanya disebabkan proses keradangan telinga tengah (otitis media) yang menimbulkan robekan gendang telinga dan keluarnya cairan dari liang telinga (curek atau congekan). Bisa juga terjadi sejak lahir misalnya liang telinga tertutup (atresia). 2).

Ketulian sensorineural (saraf) jika kelainan terjadi di telinga dalam. Biasanya terjadi pada anak yang lahir tuli maupun ketulian karena obat. 3). Tuli campuran jika terjadi tuli hantar dan tuli saraf bersamaan seperti pada curek yang lama dan berat sehingga mengenai pula telinga bagian dalam.
Penyebab gangguan pendengaran tidak selalu dapat ditentukan dengan pasti.

Diperkirakan 25-30 % gangguan pendengaran sejak lahir tidak diketahui penyebabnya serta kemungkinan faktor keturunan atau genetik sebagai penyebab belum dapat disingkirkan.

Faktor yang diduga berhubungan kuat dengan terjadinya ketulian pada bayi baru lahir meliputi infeksi TORCH (Toksoplasmosis, Rubela, Cytomegalo virus, Herpes virus) terutama dalam tiga bulan pertama kehamilan; infeksi bakteri, obat ototoksik, lahir prematur, trauma lahir, asfiksia, gangguan metabolisme dan radiasi.

Pada anak balita radang telinga tengah seperti otitis media akut (OMA), otitis media kronik, dan otitis media dengan efusi dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Kelainan ini disebabkan kelainan fungsi tuba Eustachius yaitu saluran penghubung telinga tengah dan tenggorok, pada anak yang sering menderita radang saluran napas bagian atas (pilek, batuk, sakit menelan).

Penyebab lain meliputi keradangan selaput otak (meningitis), radang telinga dalam, obat ototoksik seperti kina, obat TBC, gentamisin dll, trauma termasuk trauma bising, penyakit saraf, penyakit metabolik dan gangguan peredaran darah.

Secara garis besar pemeriksaan pendengaran dibagi menjadi pemeriksaan subjektif dengan memperhatikan reaksi atau tingkah laku anak terhadap bunyi dan pemeriksaan objektif dengan menggunakan perangkat elktronik merekam respons telinga atau otak terhadap rangsangan suara.

Pemeriksaan penyaring pada anak dapat dilakukan secara sederhana dengan mengamati reaksinya terhadap bunyi-bunyian seperti suara radio, tape recorder, TV, mobil, bantingan pintu. Kemudian dilakukan pengetesan dengan suara yaitu menanyai anak dari jarak satu meter dengan memandangi anak tetapi menutup bibir pemeriksa misalnya dengan buku.

Ini dapat memberikan gambaran adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir sampai berumur 3 bulan dilakukan dengan memeriksa refleks Moro yakni anak diberikan suara kuat (seperti suara cengceng pada gamelan) dan akan timbul reaksi berupa gerakan reflek.

Jika dicurigai anak mengalami gangguan pendengaran segera berkonsultasi ke tenaga kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, jangan menanti sampai usia tertentu. Keterlambatan penanganan akan menyebabkan anak bisu. Pada sarana kesehatan akan dilakukan pemeriksaan audiometri sesuai dengan umur, timpanometri atau tes OAE dan BERA sesuai dengan keperluan.

Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk memastikan apakah memang benar terjadi gangguan pendengaran, jenis gangguan pendengaran, letak kelainan yang menimbulkan gangguan pendengaran sehingga dapat dicari solusi terbaik untuk perawatan selanjutnya dengan harapan anak bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar.

Di berbagai negara maju dilakukan program pemeriksaan penyaring terhadap bayi terutama bayi dengan faktor risiko tadi. Jika ditemukan kecurigaan kelainan pendengaran dilakukan pemeriksaan lanjutan yang teliti dan intensif.

Pengelolaan tergantung dari penyebabnya. Ketulian akibat otitis media dapat dilakukan dengan pencucian telinga, antibiotika adekuat dan pengobatan penyakit dasar. Perlu diingat otitis media yang telah kronis sering menimbulkan komplikasi kelainan telinga dalam dan terjadi gangguan pendengaran menetap sehingga sangat penting dilakukan pengobatan dini secara tuntas.

Pada ketulian saraf atau sensorineural yang umumnya terjadi pada anak yang tuli sejak lahir, pengobatan sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Maka, pengelolaannya adalah sebagai berikut:


1). Alat bantu mendengar (ABM) sedini mungkin, bahkan sebelum anak berusia satu tahun.

2). Pendidikan khusus, stimulasi di rumah maupun di taman bermain.

3). Pelatihan pendengaran dan terapi bicara oleh ahli terapi wicara.

4). Pendidikan terpadu di sekolah normal jika memungkinkan (pada usia sekolah).

5). Pada keadaan tertentu dan kondisi memungkinkan dilakukan operasi cochlear inplant pada usia dini.


• dr. I Wayan Nuarsa, Sp.T.H.T.
Ahli Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
di RSU Surya Husadha Denpasar
Cyber TOKOH : http://cybertokoh.com
Online version: http://cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3151

1 komentar:

Unknown mengatakan...

salam.... anak saya berumur 3,5 th semenjak sakit panas saat berumur 1 th, dia tidak bisa mendengar,dan saya sudah beli alat ABD. selain pemakaian alat apa ada terapi pendengaran supaya mengurangi penyakit pendengaran nya ? trimakasih

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews